Calendar

AYO DUKUNG UGOS

Login Form



RASULULLAH TUNGGU SEBENTAR Print E-mail

Bayangkan, bila Rasulullah shalallahu 'alaihi wa alihi wa sallam, yang setiap saat kita bershalawat baginya, sedikitnya setiap kita shalat, tiba-tiba muncul di beranda rumah kita, mengetuk pintu, bermaksud menjenguk kita sekeluarga. Mestinya kita akan merasakan karunia ilahi tak terkira, layaknya menerima lailatul qadar (malam seribu bulan). Kebahagian sorgawi, keharuan, ketentraman, kedamaian yang tak terbayangkan akan mengalir memenuhi jiwa raga kita. Kita akan bersimpuh dihadapannya, memandangi wajahnya yang mulia dan mempesona, mencium lututnya yang suci, memeluk erat tubuhnya yang harum dan takkan mau berpisah lagi. Kita akan membuka semua pintu lebar-lebar, menyalakan semua titik lampu, membakar gaharu, mempersilahkan beliau masuk sambil bertakbir dan bershalawat keras-keras agar para tetangga mendengar, datang dan ikut merasakan kebahagiaan yang sangat istimewa itu.

Tapi…akankah demikian ??? atau barangkali kita akan tertegun, tak tahu apa yang mesti diperbuat, apa dan bagaimana, merasa kedatangan seorang tamu asing yang selama ini dikenal ibarat dongeng khayalan, pengenalan kita padanya hanya sekedar sebuah nama dan tidak lebih. 1001 persoalan sekaligus muncul di benak pikiran dan hati kita. Terpaksanya, kita akan meminta Rasulullah menunggu sebentar di depan teras rumah. Kita teringat, lukisan wanita ½ atau ¼ telanjang dan berbagai hiasan tak layak di ruang tamu, yang terpaksa harus ditukar dengan tulisan kaligrafi "Allah dan Muhammad" yang selama ini telah terpinggirkan berada di ruang samping. Barangkali kita juga terpaksa menyulap pojok ruangan menjadi ruang sholat, karena selama ini tidak pernah terpikir perlunya ruang khusus untuk sholat dalam rangka mendidik anak-anak dan keluarga. Kita teringat koleksi vcd yang tidak mendidik anak-anak yang perlu di sembunyikan, kita akan teringat bahwa perempuan di rumah kita tidak memiliki koleksi pakaian yang pantas untuk berhadapan dengan kekasih Allah, Rasulullah. Kita akan menjadi malu sejadi-jadinya, karena anak-anak kita yang pandai menyanyi tapi tidak bias mengaji dan bershalawat bagi Nabinya. Barangkali kita baru menyadari bahwa anak-anak dan keluarga kita yang pandai dan cerdas itu tidak mengenal sedikitpun sejarah Rasulnya, tidak mengenal nama keluarga ahlil bait suci Rasulullah dan para sahabat pilihannya, sementara mereka hapal di luar kepala semua tokoh-tokoh yang di anggap besar sepanjang sejarah dunia. Belum lagi koleksi ensiklopedi dari berbagai pengetahuan yang terpajang indah di lemari kita dan tidak satupun buku pengetahuan kehidupan Nabi dan ajarannya. Lalu kita ingat koleksi karaoke anak-anak dan istri kita, atau vcd play station milik anak kita yang lengkap, tapi tidak ada koleksi vcd tilawaatil Qur'an dan shalawat.

Bagaimana mungkin kita menutupi semua itu, sementara Rasulullah telah lama menunggu untuk dipersilahkan masuk ke dalam rumah kita ? Beliau masih menunggu dengan setia dan penuh harap, sementara kita barangkali masih tenggelam tertegun, memendam rasa malu, karena selama ini telah menghabiskan seluruh perhatian atau sebagian besar waktu kita untuk mengejar kesenangan duniawi semata. Kepuasan hawa nafsu dan kebanggan pribadi. Kita menjadi malu karena tidak pernah tahu ada tetangga kita yang lapar, kita menjadi kikuk karena sesama tetangga kita tidak lagi saling mengenal, juga tidak mau tahu adakah anak-anak tetangga kita yang tidak bisa sekolah bahkan kelaparan dan sakit tidak mampu berobat. Tiba-tiba saja kita tahu betapa buruknya perilaku kita. Seluruh hidup kita hanya berputar pada poros diri kita sendiri.Tidak ada tetangga, tidak ada masyarakat, tidak ada bangsa, tidak ada negara. Seluruh perhatian dan kesetiaan kita hanya pada diri kita sendiri. Kita telah menjadi hewan, bahkan lebih buruk, yang hanya memikirkan diri kita sendiri dan tidak segan-segan memangsa sesamanya.

Pada akhirnya kita baru menyadari betapa kita telah berada sangat jauh, jauh dari Rasulullah dan ajarannya. Sholat kita, cara hidup dan kehidupan kita, kecintaan kita, shalawat kita, pekerjaan kita, ilmu kita, ibadah kita adalah semu. Semua itu kita lakukan tidak lebih sebagai adat kebiasaan dan bukan kesadaran atas sebuah keyakinan.Semua telah menjadi tradisi yang terlepas dari keimanan. Seperti pengidap sakit jiwa yang mencari tempat pelarian. Sebagai hiburan kosong untuk menenangkan hati sebelum mati. Keimanan kita telah menjadi sekedar retorika, khayalan dan tidak pernah ada upaya menyatakannya dalam kehidupan nyata.

Kita terhenyak teringat Rasulullah yang telah lama berdiri menunggu di depan pintu, di beranda rumah kita, yaa diberanda rumah kita. Manakala kita dengan terpaksa menyongsong beliau, Rasulullah telah lewat meninggalkan pagar rumah kita, seraya berjalan merunduk penuh duka dan berkata :" Wa qoolar-rasuulu: ya Robbi inna qaumit-takhadzu haadzal-qur'aana mahjuuro / berkata Rasulullah ya Rabbi, sesungguhnya umatku telah menetapkan Qur'an ini sebagai sesuatu yang layak ditinggalkan.") Al quran surat al Furqon ayat 30
Ampuni kami semua ya Allah, sudilah memandang dan menuntun kami sekali lagi
Amin ya Robbal 'Alamin.


(Haydar Yahya)

dari Cinta Rasul