Calendar

AYO DUKUNG UGOS

Login Form



15 Petunjuk Memilih Suami (bagian 2) Print E-mail
  1. Kualitas Dirinya Setaraf atau Lebih Baik
    Disebutkan dalm Hadits berikut :

    "Manusia itu ibarat barang tambang, ada yang emas dan ada yang perak. Mereka yang terbaik pada zaman Jahiliyah, tetap terbaik pula pada zaman Islam, asalkan mereka memahami agama."
    (H.R. Bukhari)

    Penjelasan :
    Hadits di atas menerangkan bahwa kualitas manusia berbeda-beda sebagaimana kualitas barang tambang; ada emas, perak, perunggu dan lainnya. Kualitas orang dinilai baik bilamana ia mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang baik, terutama sekali pendidikan dan pembinaan agama sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

    Kualitas yang dituntut oleh Islam bukanlah kualitas materiil, melainkan kualitas keagamaan mencakup pengetahuan, intelektual, mental, emosi, ketaatan serta kesungguhan dan keteguhan berpegang pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

    Pengetahuan agama yaitu pengetahuan tentang Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam. Intelektual yaitu kemampuan untuk menggunakan akal secara jernih untuk memecahkan kesulitan. Mental yaitu pikiran dan sikap yang baik sehingga tahu bagaimana seseorang harus berlaku baik kepada orang lain sesuai tuntunan Islam dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya. Emosi yaitu kemampuan untuk bersikap tenang dan mengendalikan perasaan sehingga tidak dikuasai oleh perasaan permusuhan, kebencian, atau marah dalam menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketaatan yaitu kesungguhan secara ikhlas mengikuti aturan-aturan agama dan aturan lain yang tidak menyalahi agama. Kesungguhan dan keteguhan adalah kemantapan berpegang pada aturan agama walaupun menghadapi berbagai macam rintangan.

    Seseorang harus memiliki keenam hal tersebut agar tidak mudah terjerumus ke dalam kesalahan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapinya.

    Untuk mengetahui kualitas diri dan pribadi calon suami dapat ditempuh upaya-upaya antara lain:
    • Mengetes yang bersangkutan tentang hal-hal berikut:
      • Pengetahuan agamanya
      • Inteletualnya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila dia tidak mempunyai uang untuk pulang, sedangkan dia mendapat kabar orang tua di kampung sakit keras.
      • Mentalnya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila dia diamanahi uang untuk disampaikan kepada orang lain, sedangkan pada saat yang sama dia memerlukan uang untuk berobat.
      • Emosinya, misalnya dengan menanggapi apa yang dia lakukan bila terlambat mendapat bagian makanan.
      • Ketaatannya, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya jika dia dilarang masuk ke suatu ruangan, sedangkan di tempat itu dompetnya tertinggal.
      • Kesungguhan dan keteguhan, misalnya dengan menanggapi bagaimana sikapnya bila disuruh menjaga pintu keluar masuk karyawan, apakah orang yang terlambat dilarang dengan tegas supaya tidak masuk walaupun ia saud aranya sendiri atau calon istri.
    • Mengetahui tingkat pendidikan yang bersangkutan karena hal ini berpengaruh pada intelektualitasnya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, akan semakin tinggi pula intelektualnya. Dengan tingkat intelektual yang tinggi, seseorang akan mampu memecahkan permasalahan secara rasional dan baik. Hal ini amat diperlukan oleh seseorang yang menjadi pimpinan dan penanggung jawab rumah tangga.
    Dengan mengetahui kualitas calon suami, perempuan yang akan menjadi istrinya akan dapat mengukur apakah yang bersangkutan setaraf dengan dirinya atau tidak. Pasangan suami istri yang memiliki kualitas pribadi yang setaraf akan bisa menciptakan pergaulan yang baik sehingga tidak akan terjadi kesenjangan pikiran. Adanya perbedaan kualitas diri suami dan istri akan menimbulkan kesulitan dalam mengadakan komunikasi yang baik dan kesulitan untuk saling memahami keinginan yang masing-masing.

    Walaupun menurut agama tidak ada larangan menjalin perkawinan dengan pasangan yang miliki perbedaan kualitas diri dalam praktek pergaulan sehari-hari hal ini dapat menumbulkan dampak negatif. Hal semacam ini tentu tidak dikehendaki oleh siapapun.

    Para perempuan memang sangat mendambakan calon suaminya memiliki kelebihan daripada dirinya supaya perjalanan hidup rumah tangganya dipenuhi suasana bahagia dan penuh kesejahteraan. Islam pun menegaskan bahwa salah satu dari fungsi perkawinan adalah terciptanya suasana akrab sakinah, mawaddah dan rahmah. Semua ini hanya bisa dicapai bila laki-laki yang menjadi suaminya benar-benar berkualitas dan berpribadi baik.

    Jadi, para perempuan benar-benar harus memperhatikan kualitas calon suaminya apakah lebih baik, setaraf ataukah lebih rendah daripada dirinya.

    Bila laki-laki yang dimaksud setaraf atau lebih baik, orang semacam ini sangat baik menjadi suami. Akan tetapi, jika lebih rendah, hendaklah mereka mempertimbangkan penerimaanya sebagai suami. Hal ini perlu dilakukan sebab dengan kualitas suami yang lebih rendah besar kemungkinan akan timbul banyak permasalahan dalam membina rumah tangga kelak. Berumah tangga dengan suami semacam itu tentu akan lebih sulit menciptakan suasana harmonis, bahagia dan penuh kasih sayang. Bukankah tujuan berumah tangga adalah meraih kehidupan yang lebih bahagia, penuh ketenangan dan kasih sayang.***

  2. Dapat Memimpin
    Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisaa' ayat 34 :

    "Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka..."


    Penjelasan :
    Ayat di atas menerangkan bahwa laki-laki diberi kodrat memimpin oleh Allah. Kodrat yang Allah berikan ini merupakan kelebihan laki-laki dari perempuan. Oleh karena itu, sudah menjadi ketetapan Allah bahwa orang yang bertanggung jawab memimpin di dalam rumah tangga adalah suami. Selain itu, para suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Adanya kodrat dan kewajiban semacam ini berarti menuntut adanya kemampuan pihak laki-laki untuk memimpin istri dan anggota keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.

    Fungsi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga adalah meluruskan kesalahan istri, meninggatkan ketaqwaan istri, memperluas pengetahuan dan pemahaman istri mengenai tanggung jawabnya terhadap suami dan keluarga, menolong istri memecahkan kesulitan yang dihadapi dan mendorong istri untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan mentalnya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari terutama dalam mendidik anak-anak.

    Kebutuhan seorang istri terhadap kepemimpinan suami merupakan hal yang fitrah. Setiap istri mendambakan suaminya menjadi tempat menanyakan pemecahan segala masalah yang dihadapi keluarga. Oleh karena itu, suami dituntut untuk menunjukkan sikap kepemimpinan yang bijak.

    Seorang suami yang tidak dapat memimpin rumah tangganya tentu akan menjadi beban bagi istrinya. Ketika istrinya menghadapi kesulitan, dia tidak akan mampu memecahkan masalahnya atau tidak akan mampu memberi bimbingan pemecahan masalah, padahal hal semacam ini jelas memberatkan pikiran dan hati istri. Suami selalu berlepas tangan bilamana keluarganya menghadapi kesulitan memecahkan masalah-masalah keluarga, baik secara materill maupun mental. Bahkan terkadang suami tidak mau diajak oleh istrinya untuk memusyawarahkan kesulitan-kesulitan keluarga dan hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Keadaan semacam ini akan menjadi kemelut bagi keluarga. Yang merasa kebingungan bukan hanya istri, melainkan juga anak-anak. Mereka akan mengalami kekacauan dan kegelisahan melihat orang tuanya tidak mampu mengatasi kesulitan keluarga.

    Para istri sangat bangga bila mempunyai suami yang mampu menyelesaikan setiap kesulitan keluarga, memberikan bimbingan dan pengertian bagaimana menempuh kehidupan dengan baik, dan membekali keluarga dengan pengetahuan dan pendidikan agama. Semua ini merupakan tuntutan yang layak dari seorang istri terhadap suami, terutama sekali pada saat keluarga mempunyai anak yang memerlukan pendidikan dan pengasuhan tersendiri dari ayah dan ibunya. Dalam keadaan semacam ini kepemimpinan seseorang suami atau ayah benar-benar dibutuhkan oleh keluarga.

    Perempuan juga menginginkan agar kelak suaminya bisa memimpin dan menjadi imam dalam sholat berjama'ah bilamana mereka berada di rumah dan telah tiba waktu sholat. Hal semacam ini akan menambah kebanggaan istri terhadap suami.

    Para perempuan muslim yang akan memasuki gerbang rumah tangga wajib memperhatikan kemampuan calon suaminya dalam hal kepemimpinannya, terutama sekali kepemimpinan di bidang akhlaq dan pengetahuan agama. Mereka hendaklah meneliti dengan seksama masalah ini pada calon suaminya agar kelak dapat membangun rumah tangga yang diridhlai Allah.

    Untuk mengetahui apakah laki-laki calon suami memiliki kemampuan memimpin atau tidak, dapat dilakukan penelitian dengan cara sebagai berikut :
    • Mengajukan tes psikologis yang dapat mengukur tingkat kemampuan kepemimpinan yang bersangkutan.
    • Menyelidiki tingkah laku dan kepribadian yang bersangkutan dalam pergaulan dengan teman-temannya.
    • Menyelidiki kepribadian yang bersangkutan di tengah keluarganya apakah ia orang yang memiliki kemampuan memimpin atau tidak.
    • Memperhatikan penyelesaian tugas-tugas yang diembankan kepadanya apakah dapat diselesaikan dengan baik atau tidak.
    Para perempuan muslim hendaknya memilih calon suami yang benar-benar memiliki kemampuan memimpin. Tujuannya agar kelak dapat menempuh kehidupan rumah tangga yang sakinah, bahagia sejahtera, dan mendapat keridlaan Allah SWT.***
  3. Bertanggung jawab
    Allah berfirman dalam Q.S. Al-Qashash ayat 26:

    "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: 'Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.'"


    Penjelasan :

    Tanggung jawab yaitu sikap berani memikul akibat bila sesuatu yang dibebankan kepadanya tidak sesuai dengan ketentuan atau berani diperkarakan bilamana melakukan kesalahan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Seorang suami mempunyai beban dan kewajiban terhadap istrinya. Beban dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan baik, dan akan menerima sanksi bila tidak dilaksanakan dengan baik.

    Ayat di atas adalah kisah antara putri Nabi Syu'aib AS dengan Musa AS. Putri Nabi Syu'aib AS mengajukan permintaan kepada ayahandanya agar mengambil orang bertanggung jawab dalam membantu usahanya. Ia mengusulkan hal semacam itu karena mempunyai kepentingan terhadap laki-laki yang akan diambil oleh ayahandanya sebagai pembantu bahwa yang bersangkutan kelak akn menjadi suaminya. Pandangan putri Nabi Syu'aib AS ini dikisahkan dalam Al-Qur'an untuk menjadi cermin bagi kaum wanita muslim dalam memilih calon suami.

    Penuturan yang sangat halus pada ayat ini memberikan gambaran kepada kita adanya fitrah yang tertanam pada wanita yang berpikiran dan bermental sehat bahwa mereka menghendaki suaminya benar-benar memiliki sifat tanggung jawab.

    Tanggung jawab ini meliputi bidang agama, psikis dan fisik yang diantaranya adalah:
    • Dalam bidang agama dan psikis yaitu memberikan bimbingan keagamaan dan pengarahan kepada istri dan anak-anaknya dalam menempuh kehidupan keluarga yang diridlai oleh Allah.
    • Dalam bidang fisik yaitu memenuhi kebutuhan belanja mereka sehari-hari.
      Tanggung jawab semacam ini merupakan beban yang dipikulkan pada semua suami sejak adanya syari'at berkeluarga sampai hari kemudian kelak. Tanggung jawab ini tidak akan pernah berubah karena sudah merupakan ketentuan Allah yang berlaku secara universal.
  4. Para istri dijadikan oleh Allah mempunyai sifat menggantungkan diri pada suami sehingga tidak merasa dibebani tanggung jawab untuk memikul beban keluarga. Jika seorang istri - karena suatu hal - terpaksa memikul beban keluarga, sudah pasti ia akan mudah menjadi stres atau tertekan.

    Keadaan semacam ini dapat kita saksikan di tengah masyarakat yang serba materialis. Kaum wanita dengan terpaksa harus keluar rumah untuk turut mencari nafkah bagi kepentingan keluarganya atau memanuhi kebutuhannya sendiri.

    Digalakkannya wanita berjuang mencari nafkah sendiri mengakibatkan perbenturan dengan kaum laki-laki dalam memperebutkan lapangan kerja. Hal ini menambah banyaknya kemelut di tengah masyarakat modern yang akhirnya membuat stres masyarakat. Akibatnya, kaum perempuan terkena dampak buruk dari kondisi stres dan kemelut ini.

    Oleh karena itulah, Islam sebagai agama yang sejalan dengan fitrah manusia sejak awal telah menegaskan bahwa tanggung jawab memenuhi kebutuhan materi dan memimpin keluarga menjadi beban kaum laki-laki, bukan beban kaum perempuan. Dengan pola tanggung jawab seperti ini, kita menyaksikan bahwa sejak dahulu Islam selalu memberi tuntunan agar para perempuan memperhatikan seberapa jauh calon suaminya memiliki rasa tanggung jawab.

    Cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh calon suami memiliki rasa tanggung jawab antara lain:
    • Menyelidiki dan mengamati dengan seksama perilaku yang bersangkutandalam memikul tugas yang dibebankan kepadanya.
    • Menanyakan kepada teman-teman dekatnya bagaimana dua menjalankan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya, apakah ia lakukan dengan panuh tanggung jawab.
    • Meneliti kondisi lingkungan dan keluarganya apakah ia termasuk orang yang suka melakukan tugas-tugas dengan penuh tanggung jawab atau tidak.
    • Menguji yang bersangkutan dengan suatu tugas atau persoalan sehingga dapat diketahui seberapa besar tanggung jawabnya menyelesaikan persoalan tersebut
    Beberapa contoh perbuatan yang dapat digunakan sebagai penguji untuk mengukur rasa tanggung jawab seseorang antara lain:
    • Bagaimana sikapnya apabila dititipi barang untuk disampaikan kepada orang lain, apakah ia melaksanakannya dengan baik atau tidak.
    • Bagaimana sikapnya apabila disuruh orang tua untuk berbelanja, apakah uangnya dibelanjakan dengan benar atau tidak.
    • Bagaimana sikapnya apabila dititipi uang simpanan bersama, apakah dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau tidak.
    • Bagaimana sikapnya apabila disuruh membagikan uang bantuan kepada fakir miskin, apakah dikurangi atau disampaikan sepenuhnya
    Untuk mencegah agar kaum perempuan tidak terjerat dalam penderitaan dan bencana hendaknya mereka memilih calon suami yang benar-benar bertanggung jawab. Insya Allah, dia akan dapat menciptakan rumah tangga sakinah dan penuh berkah bersama suaminya.***
  5. Bersifat Adil
    Disebutkan dalam Hadits berikut :

    Dari Nu'man bin Basyir ra, bahwa ayahnya membawanya kepada Rasulullah saw, lalu ia bercerita kepada beliau: "Aku berikan kepada anakku ini salah seorang budakku untuk dijadikan pelayannya." Rasulullah saw bertanya: "Apakah semua anakmu engkau beri semacam ini?" Jawabnya: "Tidak." Rasulullah saw bersabda: "Kalau begitu batalkanlah." Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah saw bertanya: "Apakah terhadap semua anakmu kamu berlaku seperti ini?" Jawabnya: "Tidak." Beliau bersabda: "Takutlah pada Allah; dan berlaku adillah kepada anak-anakmu!" Ayahku lalu membatalkannya dan dia menarik kembali sedekahnya....
    (H.R. Bukhari dan Muslim)

    Penjelasan :

    Kata adil berasal dari bahasa Arab yang artinya tidak melanggar hak, menempatkan sesuatu pada tempatnya, lurus dan benar. Adil mencakup tindakan dan sifat. Tindakan adil yaitu tindakan tanpa merugikan orang lain, sedangkan sifat adil adalah lurus dalam berbuat dan berfikir serta pandai mempergunakan sesuatu sesuai dengan fungsi dan kegunaannya.

    Dalam hadits di atas disebutkan adanya kasus orang tua yang ingin memberikan hadiah kepada salah seorang anaknya tanpa memberikan hadiah yang sama atau senilai kepada anak-anak lainnya. Perbuatan yang dilakukan Basyir di atas dilarang oleh Rasulullah saw sebab hal itu sama dengan memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil dalam memberikan hadiah. Dengan tindakan semacam itu hak anak-anak lainnya menjadi dirugikan.

    Pentingnya kita mempunyai pasangan yang memiliki sifat adil ialah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Orang yang bersifat adil tidak akan mengurangi hak orang lain dan tidak suka berbuat dzalim kepada orang lain. Suami dan istri yang selalu menjaga hak masing-masing akan dapat terhindar dari rasa saling membenci dan mendendam.

    Seorang suami perlu berlaku adil dalam memimpin keluarganya atau menghidupi istrinya. Dalam memberi belanja, misalnya, ia harus dapat memenuhi kebutuhan istrinya tanpa merugikan kepentingannya dalam memperolah hak makan, pakaian dan tempat tinggal. Adakalanya seorang suami berpenghasilan cukup dan karena itu ia berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan istrinya sesuai tingkat penghasilannya. Akan tetapi, sering kali kita dapati suami yang tidak mau mencukupi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal istrinya sesuai dengan tingkat kemampuan dan penghasilan suami. Ia berlaku dzalim kepada istrinya dalam memberi belanja.

    Supaya kelak dalam membina rumah tangga tidak mengalami perlakukan dzalim dari suaminya, para perempuan muslim haruslah benar-benar mengetahui bahwa laki-laki yang hendak menjadi suaminya adalah orang yang adil. Untuk itu, perlu diadakan penyelidikan dan pengujian terhadap yang bersangkutan. Cara yang dapat ditempuh antara lain:

    • Menanyakan kepada teman-teman atau tetangga dekatnya dalam pergaulan dengan mereka ia selalu bertindak adil ataukah terkadang adil, terkadang curang, atau lebih banyak curang daripada adil atau lebih mementingkan dirinya sendiri dan suka merugikan orang lain.
    • Mengetes yang bersangkutan dengan beberapa tindakan, misalnya menyuruh membagikan sumbangan makanan di kampungnya apakah ia mengutamakan teman dekatnya dan mengabaikan orang lain atau memperlakukan sama.
    • Menyelidiki kebiasaan dan perilakaunya dengan sesama saudara dalam keluarganya apakah ia orang yang adil ataukah orang yang suka merugikan kepentingan saudaranya.

    Penyelidikan dan pengujian seperti di atas sangat perlu dilakukan oleh seorang perempuan muslim terhadap laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tujuannya agar keinginan dan cita-citanya untuk membangun rumah tangga yang dipenuhi suasana sakinah dan penuh kasih sayang dapat tercapai. Mencapai rumah tangga semacam itu tidak dapat dilakukan sepihak oleh istri. Ia harus diperjuangkan bersama-sama suami. Untuk itulah, perempuan muslim harus memperoleh suami yang benar-benar berperilaku dan bersifat adil. Insya Allah, dengan suami semcam ini ia akan terhindar dari kerugian dan penderitaan kelak dan mudah-mudahan kehidupan rumah tangganya benar-benar berjalan di garis yang diridlai oleh Allah.***
  6. Berperilaku Halus
    Disebutkan dalam Hadits-Hadits berikut:

    Dari Abu Huraihah ra,ujarnya: Rasulullah saw bersabda: "Nasihatilah para wanita itu baik-baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yangteratas. Jika engkau berlaku keras dalam meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Akan tetapi, jika engakau biarkan dia, tentu akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berikanlah nasihat baik-baik kepada para wanita."
    (H.R. Bukhari dan Muslim)

    Rasulullah saw bersabda:

    "Orang mu'mim yang paling baik imannya yaitu yang paling baik akhlaqnya; dan orang yang paling baik di antara kamu yaitu orang yang sangat baik kepada istrinya."
    (H.R. Bukhari)

    Penjelasan:

    Perilaku halus dan mulia ialah perilaku yang tidak menyakitkan hati orang lain. Perilaku ini bisa tercermin pada ucapan dan perbuatan. Kalau ada seseorang yangberbicara dengan kata-kata yang halus tetapi isinya menyakitkan hati yang mendengarkan, orang semacam itu berperilaku kasar kepada orang lain.

    Adapun perilaku kasar adalah perilaku yang menyakitkan orang lain, baik secara fisik maupun secara mental. Memukul, misalnya, secara fisik menimbulkan rasa sakit pada yang dipukul. Membentak atau memarahi secara semena-mena juga akan menimbulkan rasa sakit pada perasaan yang dimarahi. Perlakuan kasar semacam ini sudah tentu tidak disukai oleh siapa saja, sekalipun oleh orang uang berbuat keliru atau salah, karena setiap orang pada dasarnya menghendki sikap ramah atau halus walaupun berbuat salah.

    Hadits pertama memerintahkan kepada para suami untuk tidak berbuat kasar dalam meluruskan kesalahan-kesalahan istrinya. Para suami hendaknya membetulkan kekeliruan istrinya dengan cara-cara yang halus dan baik.

    Hadits kedua memuji suami yang memperlakukan istrinya dengan baik dan mulia. Oleh karena itu, Rasulullah saw sendiri memberi contoh bagaimana beliau memperlakukan istri-istrinya dengan lembut dan ramah.

    Kehidupan rumah tangga tidak selalu berjalan dengan mulus. Hampir setiap saat muncul permasalahan yang bisa menimbulkan perselisihan , pertengkaran dan percekcokan antara suami istri. Bila suami orang yang berperilaku atau kejam, ia tidak akan segan-segan berbuat kasar dan kejam kepada istrinya. Sudh tentu perlakuan kasar semacam ini tidak diinginkan oleh setiap istri walau berbuat salah.

    Istri yang mendapatkan suami berperilaku kasar dan kejam akan selalu menjadi sasaran kekasaran dan kekejaman suaminya. Ia besar kemungkinan akan lebih banyak mengalamai penderitaan fisik dan mental daripada menikmati suasana bahagia dan sejahtera lahir bathin. Banyak kasus kita temukan di tengah masyarakat bahwa perilaku suami yang kasar dan kejam kepada istrinya dapat menyebabkan penderitaan fisik dan mental istri dan anak-anak selama-lamanya

    Untuk mencegah terjadinya tindakan kasar suami terhadap istri, perlulah para perempuan sejak dini benar-benar mengamati dan meneliti perilaku calon suaminya apakah dia termasuk orang yang suka berbuat kasar dan kejam ataukah orang yang berperilaku halus dan mulia. Cara yang dapat ditempuh antara lain:
    • Memperhatikan kebiasaan dirinya dan keluarganya apakah mereka suka berbuat kasar dan kejam atau tidak.
    • Menanyakan kepada teman-teman atau tetangga dekatnya apakah yang bersangkutan atau keluarganya sehari-hari berperilaku ramah dan halus atau kasar dan kejam kepada orang.
    • Menanyai para pembantu atau pelayan, jika punya, apakah mereka seringdiperlakukan kasar dan kejam atau diperlakukan halus dan terhormat.
    • Mengajukan sejumlah pertanyaan yang bersifat tes psikologis sehingga dapat diketahui apakah dia tipe orang yang kasar dan kejam atau halus dan mulia.
    Untuk mencegah agar para perempuan tidak terperangkap dalam rumah tangga yang dikuasai oleh suami dengan perilaku kasar dan kejam, setiap perempuan yang hendak menikah harus benar-benar memperhatikan sifat dan perilaku calon suaminya. Jika ternyata ia seorang yang yang berperilaku kasar dan kejam, hendaklah ia menjauhinya dan menunggu serta memohon kepada Allah untuk diberi ganti dengan lelaki lain yang memenuhi harapannya sebagai suami yang baik. Ia sebaiknya tidak tergesa-gesa menerima lamaran seorang laki-laki yang belum jelas perilakunya. Ia hendaklah mengadakan penyelidikan yang sungguh-sungguh supaya terjauh dari malapetaka fisik dan mental kelak sesudah berumah tangga.***
  7. Tidak Kikir
    Disebutkan dalam Hadits berikut:

    Dari 'Aisyah, ujarnya: Susungguhnya Hindun datang kepada Nabi saw, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir dan tidak mau memberikan belanja yang cukup untukku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya." Beliau bersabda: "Ambillah sekedar cukup untuk dirimu dan anakmu dengan wajar!"
    (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa'i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

    Penjelasan :

    Sifat kikir adalah kebalikan dari sifat dermawan. Orang yang kikir enggan mengeluarkan uang atau hartanya untuk kepentingan apa pun. Sebaliknya, orang dermawan suka mengeluarkan harta atau uangnya untuk kepentingan yang bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain.

    Kikir menurut agama, yaitu tidak mau membelanjakan hartanya untuk kebaikan, seperti menolong orang miskin, membantu kerabatnya yang kekurangan, atau membantu kepentingan agama, seperti membangun madrasah atau masjid. Juga disebut kikir orang yang tidak mau mengeluarkan biaya atau uangnya untuk menjaga kesehatannya sehingga sakit-sakitan.

    Hadits di atas menceritakan kasus seorang suami kikir yang menyebabkan istrinya mengalami kekurangan belanja untuk kepentingan diri dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Tindakannya menyebabkan dirinya merasa berdosa, lalu datang kepada Rasulullah saw mengadukan keadaan dirinya itu. Oleh Rasulullah saw dijawab bahwa tindakannya yang terpaksa mengambil uang suami tanpa sepengatahuannya untuk belanja diri dan anak-anaknya tidak berdosa selagi sekedar untuk memenuhikebutuhannya secara layak.

    Dalam kehidupan rumah tangga sudah pasti diperlukan belanja secara wajar agar kebutuhan fisik minimum keluarga terpenuhi dengan baik. Suami, sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab atas kehidupan ustri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya. Apabila suami bertindak sebaliknya, tentu istrinya akan melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti mengambil uang dari saku suaminya tanpa sepengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan belanja.

    Seorang suami harus mengetahui berapa besar kebutuhan belanja minimum keluarganya agar mereka hidup layak dan sehat. Ia tidak bisa secara sepihak menetapkan besarnya belanja sehari-hari tanpa mempedulikan harga-harga kebutuhan sehari-hari yang riil di pasar. Ia harus selalu dapat mengikuti perkembangan harga kebutuhan sehari-hari sehingga istri dan anak-anaknya tidak mengalami kekurangan.

    Para perempuan muslim sewajarnya mengetahui apakah calon suaminya bersifat dermawan atau bersifat kikir. Jika ternyata yangbersangkutan bersifat kikir, tentu sifatnya akan merugikan kehidupan istri dan anak-anaknya. Mereka akan selalu hidup dalam kekurangan seperti yang dialami Hindun, istri Abu Sufyan, yang tersebut dalam Hadits di atas. keadaan semacam ini sudah tentu tidak diinginkan oleh istri mana pun.

    Akan tetapi, seorang perempuan pemboros atau konsumtif tidak bisa begitu saja menilai kikir seorang laki-laki, sebab tolok ukur kikir menurut agama bukan ketidakmauannya memberi apa yang menjadi permintaanya, melainkan ketidakmauannya memberikan harta untuk hal yang bermanfaat, bukan yang sia-sia.

    Para istri menghendaki agar dirinya diberi belanja yang cukup oleh suaminya sehingga pemenuhan kebutuhan fisiknya terjamin dengan baik. Tanpa terjaminnya kebutuhan fisik makan dan minum yang memenuhi standar, kesehatan yang bersangkutan tentu tidak terjamin dengan baik. Bukankah seorang perempuan dituntut untuk sehat, baik fisik maupun mentalnya, agar dapat melayani suaminya dengan baik. Oleh karena itulah, ia perlu mencari suami yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan belanja dengan layak bagi istri dan anak-anaknya.

    Agar seorang perempuan kelak tidak terjerumus melakukan pengambilan uang atau harta suami tanpa sepengetahuan yang bersangkutan seperti yang terjadi pada kasus Hindun di atas, ada baiknya sebelum berumah tangga lebih dahulu menyelidiki calon suaminya apakah ia bersifat kikir atau dermawan. Ada beberapa cara yang bisa ditempuh, antara lain:
    • Menanyakan sifat yang bersangkutan kepda teman atau tetangga atau kerabat dekatnya apakah dia bersifat kikir atau dermawan.
    • Menguji yang bersangkutan dengan beberapa kasus yangdapat digunakan untuk mengecek sifatnya, misalnya diminta untuk membantu memenuhi kebutuhan anak yatim atau orang jompo. Jika ternyata dia menolak atau memberikannya tetapi tak layak, berarti yang bersangkutan adalah orang kikir.
    • Meneliti kebiasaan keluarganya apakah mereka orang yang kikir atau dermawan. Jika mereka termasuk keluarga dermawan, ada harapan bahwa anak-anaknya juga termasuk dermawan
    Para perempuan muslim perlu memperhatikan sifat laki-laki yang akan menjadi suaminya apakah ia kikir atau dermawan. Tujuannya supaya mereka kelak tidak menyesal dan tidak menghadapi kesulitan dalam manjalankan bahtera rumah tangga. Insya Allah, dengan suami yang dermawan hidupnya akan berkecukupan dan berada dalam kebahagiaan karena suami selalu memenuhi kebutuhannya dan memperhatikan kepentingannya. hal inilah yang selalu menjadi dambaan seorang istri dalam kehidupan berumah tangga sehingga dapat mengantarkan dirinya mencapai keluarga sakinah, penuh dengan kasih sayang dan ketentraman.***
  8. Tidak Lemah Syahwat
    Disebutkan dalam Hadits berikut:

    'Umar bin Khattab berkata tentang suami yang lemah syahwat: " Dia diberi tempo satu tahun. Jika dapat sembuh, (perkawinannya bisa diteruskan); dan jika tidak, mereka boleh diceraikan dan istrinya mendapatkan mahar dan harus ber'iddah."
    (H.R. Baihaqi)

    Penjelasan :
    Lemah syahwat ialah ketidakmampuan seorang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan biologis istri. Memenuhi kebutuhan biologis hanyalah dibenarkan melalui perkawinan. Maksud hadits di atas ialah istri yang memiliki suami yang mengidap lemah syahwat berhak mengajukan perceraian jika penyakit suaminya tidak bisa disembuhkan.

    Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis istrinya, karenanya dia harus kuat syahwat. Tanpa memiliki kekuatan syahwat, tuntutan biologis istri tidak akan dapat terpenuhi. Hal ini menjadi perhatian dalam syariat Islam karena dalam perkawinan ada keharusan untuk saling memenuhi tuntutan biologis merupakan salah satu faktor terciptanya suasana bahagia suami istri.

    Seorang perempuan muslim perlu memperhatikan sisi kemampuan syahwat calon suaminya supaya kelak dalam menempuh kehidupan rumah tangga tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran. Bilamana suaminya lemah syahwat, hal ini tentu akan merugikan dirinya.

    Bagi seorang suami, karena adanya kesempatan untuk berpoligami, terjadinya kelemahan syahwat pada istrinya dapat dikompensasi dengan mengambil perempuan lain sebagai istri barunya. Akan tetapi, bagi seorang perempuan muslim, hal semacam ini tidak bisa dilakukan. Pilihan yang bisa diambil ialah menerima keadaan suami atau bercerai. Untuk itulah, perlu sekali adanya pemilihan selektif terhadap laki-laki yang hendak menjadi suaminya.

    Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, sebelum seorang perempuan muslim mengikat diri dengan seorang laki-laki muslim sebagai suami istri, ia perlu meneliti kemampuan syhwat calon suaminya. Agar dapat mengetahui seberapa jauh kesehatan dan kemampuan syahwat yang bersangkutan, dapat diadakan penyelidikan dengan cara-cara antara lain:
    • Menanyakan kepada yang bersangkutan tentang keadaan dirinya. Sudah tentu yang bersangkutan harus memberi jawaban dengan jujur atau mengambil sumpah dengan nama Allah. Jika ternyata ia berdusta, ia harus berani menanggung resiko atas kebohongannya kelak. Cara ini memang ini kurang efektif, namun sebagai muslim cara ini menumbuhkan tanggung jawab akhirat jauh lebih berat bagi yang bersangkutan. Jika dia berbohong, dosanya tidak hanya kepada perempuan yang menjadi istrinya, tetapi juga kepada Allah. Allah kelak akan menjatuhkan hukumannya di akhirat.
    • Meminta yang bersangkutan untuk melakukan tes kesehatan seksual, apakah ia termasuk orang yang lemah syahwat atau normal.

    Karena dalam perkawinan kebutuhan seksual atau biologis merupakan hal mutlak, baik bagi suami maupun istri, para perempuan muslim tidak boleh merasa malu untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan syahwat calon suaminya. Kalau hal ini tidak diketahui secara dini, kemungkinan kelak akan terjadi masalah pada diri yang bersangkutan, sehingga boleh jadi ia akan merasa tertipu dan mengalami trauma untuk bersuami. Supaya tidak terjadi akibat buruk semacam ini, perlulah para perempuan muslim sejak awal mengetahui kondisi seksual calon suaminya. Jika ternyata ia orang yang lemah syahwat, lebih baik ia menolak lamarannya suapaya tidak merugikan dirinya.

    Para perempuan muslim harus menyadari bahwa kebutuhan biologis bukan semata-mata untuk dirinya, melainkan juga untuk mendapatkan keturunan, sebab perkawinan disyari'atkan oleh Islam terutama bertujuan untuk menjadi sarana pengembangbiakan jenis manusia secara halal di muka bumi. Hal ini hanya bisa dilakukan bilamana suami dapat melakukan fungsi biologisnya kepada istrinya dengan baik. Oleh karena itu, pilihlah suami yang tidak lemah syahwat.***
  9. Senang Berketurunan dan Subur
    Disebutkan dalam Hadits berikut:

    "Kawinlah kalian, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umat-umat lain; dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani."
    (H.R. Baihaqi)

    Penjelasan :
    Hadits di atas berisikan anjuran kepada para laki-laki supaya menjauhi hidup membujang dan menyukai hidup berumah tangga dengan banyak keturunan.

    Laki-laki yang sehat adalah laki-laki yang senang hidup beristri. Laki-laki yang membujang adalah laki-laki yang tidak memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian eksistensi manusia di permukaan bumi. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengecam laki-laki yang menjalani hidup kependetaan. Mereka tidak mau beristri dan tidak mau pula menyalurkan tuntutan biologis secara halal sehingga membuat dorongan naluriah mereka menyimpang dari fitrahnya.

    Manusia mempunyai tanggung jawab untuk memperbanyak keturunan dengan melakukan perkawinan sesuai yang digariskan Allah. Dengan cara semacam ini asal-usul nasab seseorang akan menjadi jelas sehingga dapat terbentuk ikatan keluarga dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.

    Setiap laki-laki di dunia ini dituntut untuk suka mempunyai keturunan, bukan hidup membujang seperti yang dilakukan oleh para pendeta Katholik. Pola kependetaan bertentangan dengan tuntutan untuk berketurunan dalam usaha menjaga eksistensi manusia di dunia ini. Kalau semua laki-laki menjalani hidup kependetaan, sudah tentu dalam tempo singkat manusia di dunia ini akan musnah dan kaum perempuan akan sulit mendapatkan suami untuk melanjutkan keturunannya.

    Untuk memenuhi fungsi pengembangbiakan manusia di muka bumi ini, kaum perempuan perlu memilih suami dari laki-laki yang benar-benar suka mempunyai keturunan. Laki-laki yang suka mempunyai keturunan memiliki rasa tanggung jawab bessar terhadap anak-anaknya. Tanpa keinginan kuat untuk berketurunan, laki-laki hanya akan memperlakukan perempuan sebagai obyek seksual dan kepuasan syahwat semata. Hal semacam ini tentu akan merugikan eksistensi manusia di muka bumi.

    Para perempuan juga bertanggung jawab kepada Allah untuk mendorong berlangsungnya usaha memperbanyak keturunan manusia agar jenis manusia tidak segera musnah di muka bumi ini. Untuk itulah dalam memilih laki-laki yang menjadi suaminya kaum perempuan hendaknya benar-benar mengetahui dan meyakini bahwa yang bersangkutan subur.

    Untuk mengetahui seberapa jauh keinginan seorang laki-laki yang akan menjadi suami mempunyai anak atau keturunan dan subur, dapat dilakukan upaya seperti berikut:
    • Menanyai yang bersangkutan apakah dia senang mempunyai anak atau tidak.
    • Dilakukan tes kesehatan untuk mengetahui apakah laki-laki yang bersangkutan memiliki benih subur untuk membuahi istrinya atau tidak

    Ringkasnya. karena fungsi berketurunan menjadi salah satu tugas manusia dalam kehidupan di dunia ini, setiap perempuan muslim hendaknya benar-benar mengutamakan calon suami yang menyukai banyak keturunan dan memiliki benih yang subur dalam membuahi rahim istrinya. Tujuannya agar dapat memenuhi seruan Rasulullah saw dan membantu membanggakan umatnya kepada umat-umat yang lain.***